Prof. Budi Frensidy: Memahami Hitungan Perdagangan Margin di Bursa Saham

Memahami Hitungan Perdagangan Margin di Bursa Saham

Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Penulis Buku Matematika Keuangan dan Guru Besar FEB UI

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. (28/8/2023) Perdagangan margin pada dasarnya adalah pembelian efek dengan utang. Sama seperti membeli rumah atau mobil dengan kredit, seseorang harus menyetor sejumlah uang. Saham, rumah, atau mobil yang dibeli akan langsung menjadi jaminan.

Dengan fasilitas margin, seorang investor saham dapat membeli lebih banyak saham. Jika margin awal 50%, maka investor dapat berutang 50% atau dapat membeli saham sebesar dua kali modalnya.

Separuh dana itu adalah pinjaman dari perusahaan sekuritas. Jika margin awal adalah 40%, maka utang 60% atau 1,5 kali dananya. Terhadap utang ini, investor dikenakan bunga. Pendapatan bunga ini merupakan other income untuk perusahaan sekuritas selain dobelnya komisi (fee) dari nilai transaksi.

Konsekuensi dari berinvestasi saham dengan utang 50% ini, jika saham yang dibeli naik, katakan 10% dalam tiga bulan, maka keuntungan investor bukan 10% tetapi 20% sebelum dikurangi biaya bunga.

Jika tingkat bunga 18% per tahun, return akan menjadi 15,5%. Namun, jika harganya turun 10%, kerugian dia menjadi 24,5% yaitu 20% plus biaya bunga 4,5%.

Return akan lebih tinggi jika margin awal di bawah 50%. Dengan margin awal 40% misalnya, kenaikan harga saham 10% akan membuat return menjadi 18,25%. Sementara penurunan 10% akan menyebabkan kerugian 31,75%. Untuk hitungan lengkapnya, saya mendedikasikan satu bab sendiri di buku Matematika Keuangan untuk perhitungan perdagangan margin ini.

Selain margin awal, ada istilah margin call yaitu rasio ekuitas minimum dari sebuah portofolio. Misalkan seorang investor membeli 1.000 lot saham ASII pada harga Rp7.000 atau Rp700 juta dengan margin awal 50% dan margin call 30%.

Ini berarti dia harus menyetor Rp350 juta untuk modal dan berutang Rp350 juta. Rasio ekuitas yang awalnya 50% ini tidak boleh kurang dari 30% dalam keadaan apa pun. Dengan kata lain, rasio utang maksimum 70%.

Jika kemudian harga saham ASII turun di bawah Rp5.000 dan nilai portofolio menjadi < Rp500 juta, utang akan tetap Rp350 juta dan ekuitas < Rp150 juta. Rasio utang menjadi > 70% dan ekuitas di bawah 30%. Investor pun harus melakukan top up.

Selama harga saham ASII tidak jatuh di bawah Rp5.000 sehingga nilai portofolio tidak lebih rendah dari Rp500 juta, tidak ada kewajiban top up. Untuk mudahnya, kita abaikan bunga yang harus dibayar.

Secara matematika, batas margin call Rp5.000 didapat dari (1 – margin awal) x harga saham awal / (1 – margin call) atau (1–50%) x Rp7.000 / (1–30%). Sementara untuk batas nilai portofolio Rp500 juta dari (1 – margin awal) x nilai portofolio awal / (1 – margin call) atau 50% x Rp700 juta / 70%.

Berapa setoran dananya yang harus dilakukan tergantung dua hal. Pertama, apakah dana itu akan dipegang sebagai kas di portofolio atau digunakan untuk melunasi sebagian utang. Dana top up yang diperlukan akan lebih kecil jika digunakan untuk membayar utang daripada dipegang sebagai kas.

Kedua, apakah investor harus balik ke margin awal atau cukup memenuhi margin call. Kebutuhan dana lebih rendah jika hanya ke margin call. Misalkan harga saham ASII turun ke Rp4.500 sehingga nilai portofolio menjadi Rp450 juta, utang Rp350 juta, dan ekuitas Rp100 juta.

Investor tadi harus menyetor Rp 250 juta atau sebesar total kerugiannya jika harus balik ke margin awal 50% (ekuitas kembali menjadi Rp350 juta) dan setoran dipegang sebagai kas.

Setoran menjadi Rp125 juta jika langsung digunakan untuk melunasi sebagian utang sehingga portofolio saham Rp450 juta, utang menjadi Rp225 juta (Rp350 juta – Rp125 juta) dan ekuitas Rp225 juta (Rp100 juta + Rp125 juta).

Setoran cukup Rp50 juta jika dana dipegang sebagai kas untuk memenuhi margin call yang 30%. Nilai portofolio Rp500 juta yang terdiri atas kas Rp50 juta dan portofolio saham Rp450 juta, utang Rp350 juta, dan ekuitas Rp150 juta.

Terakhir, angkanya menjadi hanya Rp35 juta jika dana top up untuk pelunasan sebagian utang yang ada. Neraca investor menjadi portofolio saham Rp450 juta, utang Rp315 juta dan ekuitas Rp135 juta.

Memahami yang paling meringankan investor adalah setoran Rp35 juta, inilah praktik yang dipilih perusahaan sekuritas walaupun buku teks menyatakan kondisi ideal adalah balik ke margin awal (menyetor Rp 125 juta). Dengan setoran minimum ini, investor harus siap top-up lagi ketika harga saham turun, sekecil apa pun.

Dalam kondisi investor tidak mempunyai dana lagi untuk disetor, sebagian sahamnya akan dijual paksa (forced sale) oleh perusahaan sekuritas untuk pelunasan sebagian utang. Inilah sisi negatif lain dari perdagangan margin. Melanjutkan contoh di atas, berapa besar saham ASII yang akan dijual ketika harga menyentuh Rp4.500 dan nilai portofolio Rp450 juta?

Dengan ekuitas tersisa Rp100 juta dan aturan margin call 30% di atas, portofolio saham adalah 100%/30% x Rp100 juta atau Rp333,33 juta. Sehingga saham senilai Rp116,67 juta (Rp450 juta – Rp333,33 juta) harus dijual untuk melunasi sebagian utang.

Ini sekitar 260 lot (Rp116,67 juta dibagi satu lot ASII yang Rp450.000. Setelah forced sale ini, neraca investor menjadi portofolio saham Rp333,33 juta, utang Rp233,33 juta, dan ekuitas Rp100 juta.

Sumber: https://insight.kontan.co.id/news/memahami-hitungan-perdagangan-margin-di-bursa-saham